Menanti Samudra

Aku selalu suka melihat kapal tanker yang berlalu lalang dari pesisir pantai Teluk Penyu ini. Kapal tanker yang membawa muatan berat, tapi terasa ringan ketika berlayar di atas air. 

Melihat kapal tanker menjadi hiburanku sejak kecil dan menjadi semacam pelipur lara ketika SMP melihat ayah dan ibu yang harus berpisah. Bukan perpisahan yang membahagiakan. Ya, mana ada perpisahan yang membahagiakan. Namun, perpisahan ini cukup dramatis dan menyakitkan bagiku dan juga ibu. 

Ayahku berkhianat. Dan pahitnya lagi, ayahku memilih bersama orang ketiga itu, dibanding ibuku yang sudah menemaninya dari nol hingga punya kekayaan yang sangat cukup.

Namun, hal yang paling menyedihkan, segala aset adalah atas nama ayah. Tak ada aset apapun yang atas nama ibu. Alhasil, ketika mereka berpisah, ibulah yang harus angkat kaki dari rumah. 

Saat itu ibu hanyalah ibu rumah tangga biasa dan atas kenyataan pahit itu, sudahlah diusir, untung nenek masih ada dan memberikan rumah tinggalnya untuk ibu. 

Sejak saat itu, aku sungguh membenci ayahku dan berjanji akan membahagiakan ibuku. Akan aku buat ayah menyesal telah membuat ibuku terpuruk sekali. 

Saat aku begitu kesal dengan hidup ini, aku pergi ke teluk penyu dan kulihat kapal itu. Ya, kapal pesiar. Tiba-tiba aku terpikirkan kapal pesiar. 

Aku ingin bekerja di kapal pesiar. Berlayar bebas dan tentunya membawa hasil yang berkali lipat ketimbang aku harus bekerja di daratan. 

Dan tentunya aku ingin ibuku tak perlu susah payah berangkat ke pasar pagi-pagi untuk berjualan sepatu di lapak sepetak yang ada di pasar.

Impianku saat SMP dulu sudah di depan mata. Gelar perwira muda sudah aku kantongi setelah kelulusanku dari sebuah sekolah pelayaran di Semarang yang berada dibawah naungan Kementerian Perhubungan. 

Buku pelaut dan segala sertifikasi yang dibutuhkan untuk berlayar sudah kukantongi pula. Jalanku untuk meninggikan kehormatan ibuku semakin terlihat cerah. 

Aku siap menjadi pelaut yang berlayar mengarungi luasnya samudra untuk kehormatan dan kebahagiaan ibuku tercinta. 

Ada di titik ini pun tak luput dari kerja keras ibuku, Rumi namanya, yang setiap hari selalu bersemangat untuk berjualan di pasar. Beliau selalu mendukung impian dan mengusahakan segalanya untukku. 

Inilah waktunya aku balas budi. Dulu aku hanya bisa berangan-angan ketika melihat kapal yang lalu lalang, kini rasanya aku bisa melihat diriku lebih dekat menjadi bagian dari awak kapal itu. 

Ketika langkah sudah mantap bahwa diri ini akan segera berlayar, tapi realita menunjukkan gigi taringnya. 

Pandemi datang, orang-orang dilarang keluar berbulan-bulan, sektor pariwisata meredup, dan kacaunya tak ada lowongan kerja untuk bisa bekerja di kapal yang ia impikan. 

Beginikah realita menghajarku, ketika langkah untuk bisa membahagiakan ibuku tinggal sehasta lagi, malah kini aku diminta untuk berbalik arah.

Namun, bukan Hanenda namanya jika pantang menyerah. Ia bersyukur ibunya memberi nama Hanenda yang memiliki arti pantang menyerah. 

“Ibu, maaf Hanenda belum bisa langsung berlayar setelah lulus sekolah pelayaran.” pinta maafku ketika aku membantu ibu mencuci piring setelah makan siang.

“Tidak apa-apa anakku, ibu tahu kondisi seperti ini semuanya sedang susah. Ibu juga tidak menuntut apapun darimu, nak. Melihatmu lulus dengan memakai seragam yang gagah itu saja sudah membuat hati ibu bahagia, nak. Kamu tahu rasa bahagia seorang ibu itu sungguh sederhana.” jawab ibuku. 

Jawaban yang sudah kuduga. Ya, sedari dulu ibu tak selalu menuntut. Aku tahu bebannya teramat berat, tapi ia tak mau melihatku menanggung bebannya juga.

“Sesederhana apa bu?” tanyaku penasaran.

“Sesederhana ibu bisa melihatmu di keseharian ibu.” jawab ibu singkat. 

“Bayinya ibu yang dulu imut, mungil, dan lucu kini sudah besar ya, tak terasa. Dulu ibu pengennya kamu tetep kecil aja imut-imut. Tapi, walau kamu sudah besar, kamu tetap bayinya ibu yang lucu. Dan ada kamu setiap hari di rumah saja sudah bikin ibu bahagia, nak.” sambung ibu lagi. 

“Kalau gitu Hanenda nggak usah berlayar aja ya bu? Biar terus bisa nemenin ibu?” tanyaku usil.

“Ya, nggak gitu juga, sih, nak. Kalau berlayar adalah impianmu dan yang membuatmu bahagia, kejarlah, nak. Ibu disini akan baik-baik saja, banyak yang baik sama ibu.”

“Hehe, Hanenda bercanda, bu.”

“Selagi menunggu kesempatan berlayar lagi, kamu bisa lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang, biar kamu nggak bosan di rumah.”

Aku diam sebentar. Tujuanku bisa berlayar adalah agar ibu tidak terlalu lelah untuk bolak-balik ke pasar dan berjualan souvenir di dekat teluk penyu.

Jadi, hal yang bisa aku lakukan adalah membantu ibu berjualan dan membiarkan ibu untuk istirahat. Karena biasanya aktivitas harian ibu dari pagi sampai siang, beliau berjualan di pasar dekat rumah. Siangnya, beliau membuka lapak yang ada di teluk penyu. 

“Ibu nggak usah jualan dulu ya, bu. Biar Hanenda yang gantiin ibu.” ucapku berinisiatif.

“Kamu yakin?”

“Yakin, dong, bu, nanti kalau Hanenda bosan gantian lagi aja bu, hehe bercanda, bu.”

“Ya, sudah, kalau itu mau kamu.”

“Yes, makasih, bu.”

***

Kukira akan mudah. 

Seminggu, aku menggantikan posisi ibu untuk berdagang ternyata tak mudah.

Kadang ada ego yang menyentil.

Sudah sekolah di pelayaran, kok malah jualan di pasar. 

Namun, segera kutepis ego-ego yang menyentil itu dengan doa yang terus kupanjatkan. Aku yakin bahwa Allah akan memberikanku hal yang terbaik pada saat aku benar-benar siap. 

Mungkin bukan sekarang. Aku hanya perlu percaya saja. 

Namun, lagi-lagi realita kembali menghajar. 

Pandemi tak hanya meluluhlantakkan sektor pariwisata yang menjadi impianku. 

Para pedagang di pasar pun kena imbasnya. Sudahlah lapak ibu yang di tepi teluk penyu juga sepi sekali. Di pasar pun tak jauh beda. 

Sepi, penjualan turun drastis. 

Sampai kapankah semua ini berakhir? Apakah dunia yang begitu keras menghajar impian-impianku, apa aku yang terlalu lemah menghadapi semua ini?

***

“Bu, dagangan makin sepi saja ya, bu.” keluhku ketika duduk bersama ibu sore hari di lantai dua rumah kami.

“Sudah, biasa, nak.” jawab ibu.

“Tapi, ini bukannya yang terparah, bu?” tanyaku

“Bisa dibilang begitu, tapi kejadian ini jangan membuat kita lantas gusar dan gelisah. Kita hanya perlu terus berusaha, dan yakin rezeki akan selalu datang dari arah yang tak disangka-sangka.”

Deg! Rasanya tertampar sekali. Betapa bijaknya ibu menghadapi semua ini. Badai kehidupan yang terus menerjangnya memang benar-benar membekas menjadi butiran hikmah yang membuat ibu begitu bijak.

Kalimat ibu barusan membuatku seolah bangkit kembali dengan rasa percaya pada-Nya yang meningkat.

Aku yang mengeluh mengapa pandemi harus datang disaat aku sudah siap untuk berlayar.

Mengapa aku yang sudah memegang buku pelaut hanya teronggok di tengah lapak pasar?

Mengapa rasanya ini takkan berujung dan kunjung berhenti? 

Setelah mendengar perkataan ibu, semangatku kembali muncul. Aku semangat kembali untuk memutar otak. Jika pasar makin sepi dan aku tak berbuat apa-apa maka akan terus menguras tabungan ibu. 

“Bu, apakah Hanenda boleh mencoba peluang lainnya yang masih bisa menghasilkan saat pandemi ini?”

“Boleh saja, Nak. Ibu nggak apa-apa kok kalau berjualan lagi. Lagian ibu juga bosan kalau terus-menerus duduk santai di rumah. Terima kasih ya sudah memberikan satu minggu libur untuk ibu.”

“Ah, ibu bisa saja.” 

Otakku terus berputar. Ketika pandemi orang-orang dilarang keluar rumah, bila keluar rumah pun protokolnya sangat ketat. 

Jika orang ingin sesuatu maka orang akan mencarinya secara online. Belanja kebutuhan sandang sekarang online, kalau lapar juga pesan online nanti akan ada yang mengantar. 

Hmm, kira-kira apa ya yang bisa aku kerjakan. Aku punya keterampilan menyetir, SIM yang kumiliki pun lengkap ada SIM A, B, dan C. 

Gayung bersambut, ketika otakku terus berputar memikirkan keberuntungan yang lain, aku melihat story WA salah seorang teman SMA-ku yang sedang mencari driver  untuk perusahaan logistik barang yang punya cabang di Cilacap. 

Sepertinya ini adalah keberuntunganku yang baru. Tak apa menjadi driver , bodo amat dengan ego dan gengsi. Hal yang terpenting sekarang adalah dapur ibuku tetap mengepul.

Aku segera membalas story WA temanku itu, temanku itu dulu termasuk yang suka mengikuti grup pertemananku. Akulah yang sering menjadi leader-nya dan dia bisa dibilang follower-nya. Dia juga cenderung pendiam. Sehingga sering kali terabaikan. 

Namun, kini aku lah yang datang padanya untuk mendaftar kerja sebagai driver melalui dirinya yang jabatannya di perusahaan tersebut sudah cukup lumayan.

Berat! Merelakan ego dan menurunkan gengsi. Tapi, apa lagi yang bisa aku perbuat. Gengsi tak boleh semakin membuat hidupku sengsara.

“Rud, apa kabar? Aku mau dong daftar jadi driver di perusahaan tempatmu bekerja. Aku kirim syarat-syaratnya lewat kamu ya.” itulah pesan yang aku kirimkan.

“Wah, Hanenda, kabar baik. Kamu nggak jadi berlayar? Iya boleh segera kirim saja ya, kita lagi butuh cepat nih karena banyak permintaan.”

Satu pertanyaan yang kembali menyentil ego dan gengsiku. Namun, kuingatkan diri ini bahwa semua ini hanya sementara. Akan ada waktunya aku akan mulai berlayar dan memadu mesra samudra.

“Lagi pandemi, bro. Jadi belum berlayar. Aku kirim semua syaratnya ya. Semoga cocok.”

Aku segera mengirimkan berkas CV dan juga persyaratan lainnya ke Rudi. 

“Wah, gercep, bro. Oke, kalau cocok besok aku langsung kabari ya bro.” 

“Thank you, ya bro.” 

“Sama-sama Hanenda.”

Untunglah meski Rudi dulu tak terlihat olehku karena pendiamnya justru ia menjadi penyelamatku saat ini. 

Hatiku merasa lega. Semoga itu bisa jadi peluang baru. 

Aku merebahkan badanku di kasurku sambil memandang langit-langit kamarku. 

Tiba-tiba HP-ku berdering. Ada telepon dari Mia, perempuan yang menjadi pacarku baru satu bulan setengah. 

“Halo, Mia.” ucapku 

“Halo, Hanenda, beberapa hari ini kamu kok gak ada kabar. Kamu lagi sibuk apa, sih?” tanyanya.

Aku dan Mia ini berpacaran semenjak aku masih kuliah di Semarang. Ia kuliah juga di Universitas Negeri yang ada di Semarang. Sehingga kami sekarang menjalani hubungan jarak jauh. 

“Aku sibuk cari kerjaan Mia,”

“Hmm, kukira sibuk selingkuh.”

“Selingkuh? Kamu kira aku serendah itu? Aku tahu betapa sakitnya ibuku diselingkuhin hingga ditinggalkan, maka aku tak akan sampai hati melakukan perbuatan rendah itu. Dan kamu sekarang menuduhku. Mending kita sudahan sampai disini. Aku tak mau bersama orang yang menuduhku serendah itu.”

“Maaf Hanenda, bukan maksud aku begitu. Aku hanya lagi overthinking aja.”

“Sudahlah Mia, kita nggak usah bahas apa-apa lagi. Kita cukup sampai disini saja ya. Maaf aku lagi capek. Bye.” jawabku dan menutup telepon.

Semenjak perselingkuhan ayah saat aku SMP dan akhirnya ayah meninggalkan ibu demi perempuan lain, aku menjadi tak gampang dalam menjalin hubungan. Aku sering bergonta-ganti pacar. 

Masalah intinya sama karena terlalu banyak perempuan yang ia pacari overthinking kalau dirinya akan selingkuh hanya karena riwayat mantan pacarku yang banyak. 

Padahal aku paling benci dituduh selingkuh, perbuatan rendahan yang tak akan aku lakukan.

Mungkin hatiku akan menetap pada seseorang yang tak gampang menuduhku selingkuh.

***

Keesokan harinya aku mendapatkan kabar baik dari teman lamanya itu.

“Hanenda, lusa apakah kamu bisa langsung berangkat kerjakah?”  tanya Rudi lewat pesan WA

Ketika aku sedang membantu mempersiapkan dagangan ibu dan membuka pesan itu, rasanya lega sekali, kesempatan masih berpihak padaku.

Masalah gengsi? Hai diri sekarang bukan saatnya untuk mengurusi gengsi. Sekarang hal yang terpenting adalah bagaimana aku dan ibu bisa bertahan hidup di masa pandemi seperti ini.

Alhamdulillah gajinya juga UMR, lumayanlah. Ada yang bisa sedikit aku tabung dan berikan kepada ibuku. Meskipun sebenarnya jika aku bekerja di kapal pesiar pasti gajinya akan berlipat-lipat dari ini. Tapi, cukup sudah, aku tak boleh terus berandai-andai. 

Aku cari ibuku yang sedang bersiap di kamar sebelah ruang TV.

“Ibu, Hanenda diterima jadi driver untuk pengiriman logistik yang ada di kota, bu.” ucapku.

“Alhamdulillah, nak. Jalani dengan ikhlas ya, meski ini bukan yang kamu mau. Insya Allah nanti ada jalan ya, nak.” jawab ibu. Lagi, jawabannya membuatku tenang. 

“Makasih ya bu, sudah mendukung Hanenda, maaf belum bisa memberi lebih. Nanti, sisa gaji Hanenda bagaimana kalau kita buat untuk meneruskan kolam ikan yang terbengkalai di tanah belakang bu dan kita buka buat mereka yang mau mancing. Barangkali mereka penat di rumah saja dan butuh hiburan.”

“Kamu nggak perlu minta maaf. Adanya kamu di dunia ini saja menemani ibu itu sudah lebih dari cukup bagi ibu. Ide bagus, nak. Ibu mendukung apapun yang kamu lakukan.” 

Aku bersyukur memiliki ibu seperti ibuku. Kami selalu transparan menyatakan bagaimana kondisi satu sama lain. Kami juga saling mengomunikasikan harapan satu sama lain sehingga tak ada yang dikecewakan. Karena ibu dan aku telah belajar betapa pedihnya dikecewakan. 

***

Beberapa bulan aku bekerja sebagai driver membuatku bisa memberikan uang lebih untuk ibu. Aku hanya mengambil sedikit saja, sisanya untuk ibu dan mengembangkan kolam ikan untuk pemancingan yang ada di tanah belakang rumah.

Alhamdulillah ada Pak Lek Didi yang mau membantu selagi aku bekerja sebagai driver. Jadinya ada tambahan pemasukan meski tidak banyak. Setidaknya bisa membantu uang makan untuk ibu dan juga Pak Lek Didi yang belum menikah di umurnya yang sudah kepala empat. 

Alhamdulillah meski belum di kapal pesiar, aku masih bisa memberikan manfaat. Namun, ambisiku masih tertancap dalam di hati dan tak akan kubiarkan lepas begitu saja. 

Aku yakin pandemi ini tak akan berkepanjangan dan akan ada kesempatan bagiku memadu kasih dengan samudra. 

***

“Hanenda, ibumu! Ibumu! Ibumu!” suara Pak Lek Didi dari seberang telpon terdengar panik. 

Tanganku gemetar, ada apa dengan ibu. Ya Allah, jangan dulu engkau ambil ibuku sebelum aku bisa membahagiakannya. 

“Kenapa Pak Lek? Cerita Pak Lek! Jangan bikin aku panik juga!” jawabku yang mulai tertular paniknya Pak Lek Didi. 

“ Tangan kanan ibumu kebas dan nggak bisa digerakkan, ibumu nangis seharian tadi.”

“Kebas? Kenapa Pak Lek? Nggak biasanya ibu seperti ini? Apakah ada kejadian yang membuat ibu syok?”

Ya, ibuku memang punya riwayat darah tinggi dan jika sampai tangan ibu kebas, bukankah itu serangan stroke? Ada kejadian apa atau apa yang sedang ibu pikirkan sehingga ibu tiba-tiba merasa kebas tangannya.

Apakah ibu kepikiran karena aku bekerja di Cilacap kota? Ah rasanya beberapa bulan lalu baik-baik saja.

“Tadi ada perempuan seusia ibumu dan ngaku-ngaku sebagai mantan istri ayahmu dan mau minta rumah yang ibu tinggali.”

“Apa? Si Yumna itu datang ke ibu dan minta rumah yang ibu tinggali? Apa haknya dia? Ibu dan ayah sudah tidak ada lagi hubungan dan rumah yang ibu tinggali itu peninggalan nenek yang diberikan pada ibu, bukanlah hak milik ayah. Apa lagi yang ia katakan Pak Lek?”

“Yumna ngancem ibumu kalau nggak menyerahkan rumah ini akan menuntut ke kepolisian.” jawab Pak Lek

“Dasar wanita tak tahu diri, sudah merebut ayah, kini mau merebut kembali kehidupan ibu yang sudah tentram, kenapa setelah puluhan tahun, baru sekarang ia datang. Huh! Bagaimana kondisi ibu Pak Lek? Aku akan segera pulang.”

“Ibumu masih nangis, entah menangisi tangannya atau kejadian tadi. Kita perlu memeriksakan ke dokter, Hanenda.”

“Ya, Pak Lek. Aku segera pulang ya.” 

Kebetulan saat itu tugasku sudah selesai dan aku meminta izin untuk membawa ibuku ke dokter dengan truk box yang aku pakai untuk bertugas. 

Dan untunglah diizinkan. 

Mengapa setelah puluhan tahun, prahara masa lalu itu datang kembali dan membuat hidup ibu porak poranda lagi dan kini membuat ibu terkena stroke?

Setelah sampai di rumah aku segera membawa ibu ke dokter. Kulihat muka ibuku yang begitu trauma, tatapannya kosong seperti puluhan tahun lalu ketika mendengar ayah selingkuh dan menceraikannya demi Yumna. 

Kupegang erat tangan ibu yang kebas dan kucoba gerak-gerakkan tangan kebas itu.

“Insya Allah tangan ibu akan kembali lagi ya bu, ibu yang tenang ya. Nggak ada yang bisa sakitin ibu. Hanenda janji.”

Ibuku kembali meneteskan air mata. 

“Hanya kamu, nak, harta ibu yang paling berharga.” Ucap ibu sembari mengelus pipiku dengan tangan kirinya. 

Mataku terasa panas, tapi kutepis agar tak jatuh air mata itu. 

“Sekarang kita ke dokter, ya, bu.” ucapku segera menggendong ibu naik ke truk, diikuti oleh Pak Lek Didi yang menemaniku. 

***

“Berdasarkan pemeriksaan tadi, ibu Anda terkena serangan stroke pertama. Untuk mencegah dampak buruknya mohon dijaga agar tekanan darah ibu Anda tetap stabil ya, jaga makanan dan juga pikirannya. Karena bila tidak khawatirnya akan bertambah parah.” jelas dokter padaku. 

Sudah kuduga. Ini adalah serangan stroke. Ya Allah. Mengapa ini harus terjadi? Tiba-tiba rasa marahku berbuncah-buncah. Bayangan ayah muncul di kepalaku. Tak puaskan ayah menghancurkan hidup ibu dulu dan kini hendak menghancurkannya kembali. 

“Baik, dok.” Aku hanya bisa menjawab singkat. 

“Nanti, ibu Anda bisa ikut kegiatan di posyandu lansia puskesmas terdekat ya, sebelum waktu terapi di rumah sakit.”

“Baik, dok. Terima kasih.”

Aku keluar dari ruangan dokter dengan langkah yang gontai. Hidup memang selalu penuh kejutan tak terduga. 

***

Keesokan harinya setelah pulang bekerja, aku pergi ke rumah ayah. Entahlah kapan terakhir kali aku bertemu dengannya. Sepertinya sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. 

Aku yang tak mau bertemu dengannya dan tak mengharapkan juga bertemu dengannya, sosok yang sudah membuat ibu terluka. 

Aku hanya tahu nama desa ia tinggal sekarang, bahkan aku tak tahu mana rumahnya. Aku hanya bermodal bertanya pada tetangga. 

Ternyata ayah cukup dikenal karena kelakuan istrinya yang kurang beres. Ayah, mengapa kau meninggalkan ibu yang mulia hatinya demi hidup dengan perempuan tak tahu diri itu. 

Akhirnya kumenemukan rumah itu. Kulihat sosok laki-laki berambut gondrong memakai kaos lusuh yang warnanya pudar karena dicuci berkali-kali dan celana jin pendek yang tak kalah pudar warnanya sedang menyapu teras. Hal yang tak pernah ayah lakukan di rumah. 

Sesaat hampir tak kukenali bahwa itu ayah. 

“Pak Baskoro.” panggilku. Sengaja, aku tak memanggil namanya. 

“Iya.” jawabnya singkat dan berhenti sesaat ketika memandangku. Aku yakin ia pasti mengenaliku meski aku sudah tumbuh dewasa. 

“Hanenda?” tanyanya

Aku hanya mengangguk. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi cerah seperti menemukan kebahagiaan yang lama ia nantikan. Ayah menghentikan aktivitasnya dan mendekatiku. Sepertinya ayah hendak memelukku tapi aku jaga jarak. 

Ayah terlihat kikuk.

“Hmm, ayo masuk, nak.” pintanya.

Aku menurut. Ketika masuk rumahnya, rumahnya jauh dari kata rapi. Dan tak kulihat istrinya itu. 

“Pak, kedatangan saya singkat saja. Kemarin istri bapak datang ke rumah kami mengaku sudah bercerai dengan bapak dan meminta rumah ibu untuk diberikan kepadanya dan mengancam jika tidak diberikan akan dilaporkan ke polisi. Hal itu membuat ibu saya syok dan beliau terkena serangan stroke. Sebenarnya saya bisa menuntut istri Anda ke polisi, tapi sudahlah. Tapi, satu pinta saya jangan temui kami lagi.”

“Rumi kena stroke? Yumna datang kesana? Mengaku sudah bercerai?” tanyanya tak percaya. 

Aku hanya mengangguk. 

“Astaga! Kelakuan apa lagi dia hanya demi uang. Ayah belum bercerai dengan Yumna. Maafkan kedatangan Yumna yang membuat Rumi syok.”

“Tolong ingatkan istri Anda untuk tidak lagi datang. Hidup kami sudah tentram dan jangan usik kami lagi. Saya pamit.”

Aku langsung berdiri untuk segera pulang. 

“Nak, ayah minta maaf. Apakah kamu masih menganggapku sebagai ayah?”

Langkahku terhenti, aku tak menjawab. Jawaban yang sungguh berat. 

“Saya pamit. Assalamualaikum.” hanya itu jawabanku. 

Sungguh pahit untuk menerima ayah kembali sebagai sosok ayah karena luka yang beliau tancapkan. Mataku terasa panas, tapi aku tak boleh menangis. 

Namun, dalam hati aku selalu berusaha untuk memaafkan beliau.

***

“Ibu, Hanenda sudah bertemu dengan ayah dan insya Allah tak akan ada lagi yang mengganggu ibu lagi.” ucapku dengan niat untuk menenangkan pikiran ibu. 

Ibu hanya tersenyum. Seakan senyum itu adalah lega memiliki anak yang siap menjaganya.

“Dengan kondisi ibu seperti ini, Hanenda tak mau meninggalkan ibu terlalu jauh. Hanenda ingin menjaga ibu. Kalau perlu Hanenda tak perlu berlayar, agar Hanenda bisa menjaga ibu. Kalau bukan Hanenda yang menjaga ibu, siapa lagi.”

Entahlah tiba-tiba kulayangkan pernyataan ibu, meskipun aku tak tahu apakah aku bisa benar-benar mengubur impianku itu. 

“Ibu baik-baik saja, nak. Insya Allah dengan ikut kegiatan di posyandu lansia dan juga terapi, kondisi ibu akan membaik. Janganlah kau kubur impianmu. Ibu tahu rasanya mengubur impian.”

“Ibu pernah mengubur impian ibu?” tanyaku penasaran.

“Ya, semenjak menikah, ibu masih punya impian bisa bekerja kantoran memakai seragam, tapi ketika ayahmu meminta ibu untuk di rumah, apa daya ibu. Ibu turuti, tapi hasilnya ibu malah ditinggalkan tanpa punya harta apapun. Untung ibu punya kamu, harta ibu yang paling berharga. Ibu tak mau harta ibu yang berharga hilang redupnya karena ibu. Gapailah impianmu, nak. Jangan risaukan ibu, insya Allah ada yang menjaga ibu.”

“Tapi, bu.”

“Kamu nggak perlu merasa bersalah jika nantinya bekerja jauh dari ibu. Bukankah sudah seperti itu harusnya anak laki-laki. Insya Allah nanti ada jalan. Kita jalani seperti ini dulu, dan nanti akan ada jalannya, nak.”

Oh, ibu. Mengapa hati ibu seluas itu. Bahkan di kondisi ibu yang seperti ini, ibu tak melarangku jika aku ingin pergi jauh mengejar asaku. 

Ya, semoga ada jalan keluar semua ini. Mungkin jika aku menikah, aku akan lebih tenang karena ada istri yang bisa menemani ibuku. Namun, bagaimana akan menikah ketika aku terlalu punya masalah akan kepercayaan dengan perempuan. 

Ya Allah terangilah jalan ini. 

***

Berbulan-bulan pandemi membalut bahkan hampir satu tahun lamanya. Selama itu pula ibu bolak-balik mengikuti posyandu lansia dengan protokol yang ketat dan juga beberapa kali terapi di rumah sakit. 

Aku senang bisa mengantar ibuku ke posyandu dan juga rumah sakit. Ketika ibu akan kuantar ke posyandu, air mukanya terlihat ceria. Seperti hendak bertemu dengan teman lamanya. Aku pikir mungkin karena ibu akan bertemu dengan yang seumuran. 

Namun, ketika sesampainya disana nama yang dicari pertama adalah sosok perempuan seusiaku sepertinya yang sering ia sebut Humaira.

“Mbak Humaira-nya sudah datang, bu?” selalu pertanyaan itu ibuku lontarkan ketika berkunjung ke posyandu. 

Tak lama perempuan yang bernama Humaira itu pun datang. Ya, ia terlihat seumuranku dan memang baru bekerja disitu satu tahun belakangan ini. 

Wajahnya cantik, sih, kalau aku lihat. Tipikal wajah yang kalau dipandang terus itu tak membosankan. Ditambah dengan keramahannya ketika bertemu dengan ibuku, seperti seorang anak yang bertemu dengan ibunya. 

“Assalamualaikum, ibu Rumi yang menawan sekali hari ini, sudah siap ikut kegiatan hari ini, bu?” sapanya pada ibuku. Aku hanya memperhatikan saja. 

“Waalaikumussalam, sudah, dong, nak. Oh, ya, Hanenda, ini Humaira yang selalu bikin ibu semangat ke sini.” 

Aku segera menyalami Humaira dan memperkenalkan diri. 

“Hanenda, salam kenal.”

Humaira menyambut uluran tangan itu. 

“Humaira.” tanggapnya sembari menyunggingkan senyum yang manis dan meneduhkan. 

“Ah, ibu bisa saja.”

“Ya, sudah kalau gitu bu, Hanenda pamit kerja dulu ya bu.” 

Aku meninggalkan mereka berdua yang terlihat akrab. Entah kenapa ada rasa yang berbeda ketika memandang Humaira, perasaan yang menenangkan. 

Tapi, kutepis perasaan itu. Aku sedang berpacaran lagi dengan rekan kerjaku yang baru berjalan satu bulan. Aku tak tahu apakah akan bertahan lama dengan rekan kerjaku ini. 

Tiba-tiba HP-ku bergetar. Ah kalau dari pacarku sungguh malas jika harus berbasa-basi di pagi ini. Ketika kulihat layar HP-ku, ternyata dari Wilujeng. 

Wilujeng adalah teman satu kamarku saat di sekolah pelayaran. 

“Hai bro, gimana kabar?” tanya Wilujeng.

“Kabar baik, bro. Aku masih sibuk jadi driver, nih. Apa kesibukanmu bro?”

“Sama masih aja di darat. Udah rindu asinnya air laut, nih, tapi pandemi nggak bubar-bubar, ya.” keluh Wilujeng.

“Aku juga, bro, pelaut emang makanan sehari-harinya air laut ya, haha. Ya, sudahlah kita jalani apa yang bisa kita lakukan sekarang. Dirimu sibuk apa, bro?”

“Aku, sibuk jualan, nih, jualan roti-roti rumahan. Kadang gengsi, tapi ya gimana lagi.”

“Pandemi bukan zaman gedein gengsi, ini ibuku malah kena stroke, bro. Pengen nemenin beliau dan gak melaut. Tapi, hati mana bisa bohong. Masa harus kukubur impian melautku.”

“Nikah, aja, bro, cari istri yang bisa nemenin ibumu. Jangan gonta-ganti pacar mulu. Haha.” ledek Wilujeng.

“Aku gonta-ganti pacar bukan karena playboy. Tapi karena masalah trust issue, bro. Cewek tuh suka banget overthinking kalau aku selingkuh. Mana suka aku dituduh selingkuh. Haha.”

“Ya, semoga kita dapat jalan keluarnya ya bro. Kabar-kabar kalau ada panggilan melaut. Eh udah dulu, ya. Ada pelanggan.”

“Pelanggan roti plus ya?” gantianku meledek.

“Enak aja, ya, udah, bye.” tutup Wilujeng. 

Ternyata tak hanya aku yang menghadapi masalah ini. Wilujeng pun juga, setidaknya aku tak merasa sendiri. 

***

Sepertinya aku sudah punya lebih dari 30 orang mantan pacar. Aku berpacaran semenjak SMP hingga sekarang. 

Hubunganku tak pernah melebihi waktu dari enam bulan. Sehingga banyak orang yang memberi cap kepadaku seorang playboy. Padahal ketika menjalin hubungan dengan seorang perempuan, aku fokus ke perempuan tersebut. Dan seringnya hubungan itu berakhir karena hal yang sama, mereka selalu menuduhku berselingkuh ketika aku tak memberikan respon yang cepat bila dihubungi. 

Sekarang pun aku sedang menjalin hubungan dengan rekan kerjaku yang sama-sama di perusahaan yang sama, bedanya dia bekerja di bagian admin. 

Aku merasa tenang dia tak pernah mengusikku dengan tuduhan selingkuh. Namun, pagi ini entahlah sikapnya berubah. 

“Ternyata mantanmu banyak banget ya, berlusin-lusin, kamu serius apa nggak sama aku? Atau jangan-jangan kamu juga bermain mata di belakangku?” tiba-tiba pacarku melabrakku seperti itu ketika aku baru sampai di kantor. 

“Kamu kenapa, Linda? Kok langsung nuduh aku seperti itu? Pernah nggak kamu tanya aku dulu kenapa aku punya mantan banyak?” aku mencoba menjawab dengan tenang.

“Ya, udah pasti kalau kamu itu playboy yang suka cicip sana, cicip sini.” jawabnya ketus.

Sungguh jawaban yang lebih memuakkan. Sehina itukah aku? Apakah karena laki-laki sering bergonta-ganti pacar itu karena hanya nafsu saja. Sungguh, mengapa semua pikiran wanita seperti itu.

“Baiklah, kalau itu pikiranmu. Tapi, aku tak seperti yang kamu pikirkan. Aku punya alasan, tapi sepertinya kamu tak mau tahu. Sepertinya kamu bukan orang yang aku cari. Kita cukup sampai disini saja. Aku pamit.” aku tak ingin beradu mulut lebih lama dan meninggalkan Linda untuk bekerja. 

Mengapa pikiran perempuan selalu begitu? Tidakkah mereka melogika perasaannya terlebih dahulu. Ah, sudahlah. Sepertinya aku belum siap untuk berhubungan dengan perempuan lagi. 

Kali ini rasanya aku merasakan begitu terhina seolah aku hanya mengutamakan otak nafsuku saja. 

Aku pun melanjutkan pekerjaanku dan tak menghiraukan kejadian tadi. Memang seperti itulah laki-laki, harus fokus kembali. 

***

Hari ini aku pulang telat, sesampainya di rumah waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, sepertinya ibu sudah tidur. Semenjak serangan stroke, ibu harus segera beristirahat lebih awal.

Ketika aku masuk ke rumah, masih kudapati ibu yang duduk di ruang TV.
“Assalamualaikum, kok ibu belum tidur?” tanyaku khawatir. 

“Waalaikumussalam, nak. Ibu lagi nungguin kamu, ingin bilang sesuatu.” jawab ibu dengan raut wajah yang cerah. 

“Wah, ada apa, nih? Kok, aku jadi deg-degan. Ibu seneng banget, ada apa ini?”

“Kamu tahu Humaira yang pernah ibu kenalin ke kamu? Cantik banget, kan? Ramah lagi, sama ibu baik banget.”

“Humaira baik ke ibu kan udah kewajibannya bu sebagai nakes, trus kenapa?”

“Emang kamu nggak kepincut? Ibu aja kepincut loh? Trus dia anaknya agamis loh, setiap ada adzan, ia langsung bergegas untuk sholat. Uhhh, menantu kesayangan.”

“Sebentar, bu, ini arah pembicaraannya kemana, nih, kok ada menantu kesayangan?”

“Hehe, apa kamu nggak mau mencoba deket sama Humaira?” 

Baru saja aku ingin berhenti menjalin hubungan dengan seseorang, kini malah ibuku yang datang dan mengajakku untuk mendekati seseorang. 

“Dia yatim piatu sejak SMP, lho, nak. Dia tinggal sama Bu dhe dan Pak dhe-nya dan semenjak remaja sudah kerja keras. Perempuan tipikal seperti ini cocok buat kamu lho, nak. Nah, kebetulan dia cerita katanya SK-nya ditempatkan di puskesmas sini, nak. Dia nyari kamar kos-kosan.”

“Terus, ibu mau buka kos-kosan?” isengku bertanya.

“Hehe, iya, nak. Rumah kita kan dekat puskesmas, kebetulan kamar atas kan lama kosong, daripada dihuni jin mending dibersihkan dan kita buka kos-kosan aja.”

“Ide ibu bisa aja, sepertinya ini kode buat Hanenda untuk bersih-bersih ya.”

“Anak ibu pintar sekali. Siapa tahu kalian bisa dekat dan barangkali jodoh,nak.”

“Ah, ibu bisa aja, Hanenda coba ya, kalau jodoh kan nggak kemana ya bu.” 

Ah, akhirnya aku menyetujui untuk mencoba menaklukkan masalah trust issue-ku. Akan aku coba bila lebih dari enam bulan perasaanku nyaman dan tak goyah sepertinya ialah yang aku cari. 

Dan bila nyatanya ia jodohku dan kebetulan sudah dapat SK kerja di puskesmas dekat rumah maka bisa jadi teman untuk ibu jika aku pergi berlayar nanti.

Inikah jalan yang kau tunjukkan Ya Allah?

“Ya, sudah, ibu sekarang tidur dulu, ya. Ingat ibu nggak boleh tidur kemalaman.”

“Hehe, iya, ibu tidur dulu ya.” pamit ibu dengan muka yang cerah.

Alhamdulillah setiap kesusahan datang kemudahan.

***

Semenjak malam permintaan ibu untuk menjadikan kamar atas jadi kos-kosan membuat hidup ibu lebih berarti dan bersemangat. Kebetulan ada tangga luar yang langsung menghubungkan teras dengan lantai dua. Jadi, bagi yang akan tinggal kos di atas tak perlu naik lewat lantai satu. 

Awalnya dilantai dua hanya ada satu kamar besar yang ibu minta disekat dan dibagi menjadi dua. Humaira pun sangat menyukai gagasan ibu untuk tinggal kos di rumahnya karena lokasi yang strategis pinggir jalan dan dekat puskesmas. 

Semenjak Humaira tinggal indekos di rumahku, setiap hari aku merasa suka salah tingkah sendiri. Humaira benar-benar agamis. 

Ketika aku mencoba untuk intens menghubunginya lewat komunikasi WA, ia tak merespon dengan agresif, secukupnya saja. Ini membuatku makin penasaran padanya. 

Entah mengapa dengan melihatnya saja hati ini merasa nyaman dan ketika berkomunikasi, ia tak mau menggali tentang masa laluku. 

Kadang aku punya waktu yang cukup lama ketika ibu mengajak Humaira makan malam bersama. 

Entah, hati ini mengatakan bahwa Humaira adalah wanita yang berbeda. 

Enam bulan pun tak terasa dan perasaanku masih nyaman dengan Humaira meskipun aku tak menjalin ikatan apapun dengannya. 

Seperti kesepakatanku dengan diriku sendiri, bila enam bulan aku nyaman dengannya maka aku akan mulai serius dengannya. 

“Humaira, aku boleh kenal dengan Pak Dhe dan Bu Dhe kamu?” suatu hari aku memberanikan diri untuk mengirimkan pesan ini. 

Aku gusar karena tak langsung dijawab. Pesanku dijawab keesokan harinya. 

“Silakan Hanenda, kapan kamu mau bertemu Pak Dhe dan Bu Dhe-ku?” 

Jawaban dari Humaira membuatku semakin salah tingkah. 

“Bagaimana kalau lusa, hari minggu?” tanyaku. 

“Boleh, kita naik motor sendiri-sendiri ya.” jawabnya lagi

Sungguh perempuan yang berbeda. 

***

Hari minggu yang kutunggu pun tiba, aku dan Humaira mengendarai motor sendiri-sendiri menuju rumah Pak Dhe dan Bu Dhe-nya yang ada di kabupaten Banyumas. 

Jarak dari tempatku ke rumah Pak Dhe-nya hampir menempuh waktu dua jam. Sungguh dia perempuan mandiri dan benar kata ibu, memang pekerja keras. 

Sesampainya di sana, aku agak grogi. Apa yang hendak aku bicarakan, tapi aku mencoba meyakinkan diri kembali bahwa ini adalah hal yang terbaik.

“Assalamualaikum, salam kenal Pak Dhe dan Bu Dhe, saya Hanenda, anak pemilik kos tempat Humaira tinggal. Niat kedatangan saya di sini ingin silaturahmi dan meminta izin untuk bisa mengenal Humaira lebih dekat lagi.” ucapku mengawali perbincangan.

“Waalaikumussalam, Pak Dhe dan Bu Dhe mengizinkan saja asal Humaira pun mengizinkannya, bagaimana Humaira?” jawab Pak Dhe-nya

Kulihat wajah Humaira memerah dan ia hanya menganggukkan wajahnya. 

“Lebih baik jangan lama-lama, kalau Hanenda udah yakin sama Humaira dan Humaira udah yakin dengan Hanenda, langsung nikah saja.”

Aku dan Humaira sama-sama terkejut mendengarkan perkataan Pak Dhe-nya. 

“Insya Allah Pak Dhe dan Bu Dhe,” jawabku. 

Entah mengapa rasanya trust issue-ku hilang ketika aku mengenal Humaira. Tak kusangka, keputusanku untuk menjaga ibu membukakan kejutan indah yang tak pernah kuduga. 

*** 

Tak kusangka bahwa pertemuanku dengan Pak  Dhe dan Bu Dhe Humaira begitu mudahnya bahkan tanpa ada sangkalan ini dan itu, mereka menyarankanku agar segera cepat menikah. 

Sesampainya kembali di rumah, ibu masih juga belum tidur karena menungguku pulang, ingin tahu apa yang sudah terjadi disana.

“Gimana, nak?” tanya ibu padaku yang masih repot membuka tali sepatuku. 

“Ibu penasaran, ya?” ledekku. 

“Iya, dong masa nggak penasaran.”

“Hanenda kasih tahu besok saja, ya. Sudah malam, ibu perlu istirahat kan?” ledekku kembali.

“Ih, nak, ibu belum bisa tidur kalau belum dikasih tahu.”

Akhirnya, tali sepatuku yang membandel bisa diurus. Aku pun segera menanggapi permintaan ibu.

“Pak Dhe dan Bu Dhe mengizinkan Hanenda untuk kenal lebih dekat dengan Humaira, malah minta segera nikah saja.”

“Alhamdulillah, bagus itu, nak. Ayo, segera lamar saja, nak. Minggu depan gimana?”

“Hah! Minggu depan? Ibu nggak bercanda? Humaira setuju apa nggak? Tapi kan bu, Hanenda belum begitu mapan.”

“Justru dengan menikah, rezekimu bakal ngalir kayak air. Yakin deh, itu udah janji Allah.”

“Ibu, buru-buru amat Hanenda nikah.”

“Kebaikan itu sebaiknya disegerakan.”

“Hanenda pikir dulu ya, bu. Ayo, kita istirahat dulu,bu.” ajakku. 

Melamar Humaira minggu depan? Apakah semuanya begitu cepat? 

Aku mencoba melihat bagaimana respon Humaira, kucoba mengirimkan pesan lewat WA.

“Humaira, kalau minggu depan aku dan keluarga melamarmu, apakah kamu ok?” 

Segera kubalik HP-ku dan tak berekspektasi Humaira perlu menjawab dengan cepat. Ternyata diluar dugaan, HP-ku berbunyi dan itu dari Humaira. 

“Monggo, Hanenda. Kebaikan memang perlu disegerakan.”

Tanganku gemetar. Apa ini? Semesta mendukung. Apakah aku sudah siap? Namun, perkataan ibu bahwa menikah membuka rezeki memang harus kuyakini. 

***

Hari minggu yang membuatku berdegup kencang pun datang. Segala persiapan terasa begitu cepat dan memang tak terlalu muluk-muluk.

Aku, ibuku, dan empat orang saudara dekat ibu mengantarku untuk melamar Humaira. 

Sungguh inilah kemudahan yang tak pernah kubayangkan. Proses lamaran pun berjalan dengan lancar. Humaira dan keluarganya pun tak mempermasalahkan pekerjaanku yang masih jadi driver. 

Penerimaan dari Humaira dan keluarga membuatku terlecut untuk memberikan penghidupan yang terbaik untuk Humaira dan juga ibuku. 

Selesai lamaran, HP-ku berdering, itu dari Wilujeng. Beberapa hari lalu Wilujeng mengabariku bahwa ada lowongan di salah satu kapal pesiar yang semenjak pandemi lumayan mereda sudah kembali beroperasi.

Kapal pesiar itu sedang genting mencari pengganti mualim 3 mereka.

“Halo, bro, gimana?” tanyaku 

“Kamu nggak inget ini hari apa?” tanyanya

“Hari minggu, aku baru aja lamaran, nih.”

“Eh, seriusan? Cepet amat sama yang mana?”

“Sama yang nggak aku pacarin, eh ada apa?”

“Wah, ini baru Hanenda yang beda. Ini bukannya hari pengumuman penerimaan mualim, coba deh cek email-mu.” 

“Bentar, aku buka.” aku langsung membuka email-ku dan aku melihat email yang memberitahu bahwa aku diterima. 

“Aku keterima, bro.” ucapku gembira.

“Alhamdulillah, selamat bro. Memang orang mau nikah rezeki dimudahkan ya. Doain aku juga cepat nyusul melaut ya, bro.” 

“Pasti, bro. Makasih ya bro udah kasih infonya, malah aku dulu yang melaut.”

“Nggak usah merasa bersalah, bro. Rezeki tak akan tertukar. Ya, udah dulu, lanjutin acara lamarannya.”

“Makasih, bro.”

Alhamdulillah, perkataan ibu memang benar bahwa menikah membuka pintu rezeki. Baru awal berniat untuk melangsungkan pernikahan saja sudah dibukakan rezeki seperti ini. 

Namun, aku dilema. 

Kapal pesiar itu butuh aku untuk segera berangkat melaut. Dan aku belum tahu berapa bulan aku akan pulang. Menunda akad berbulan-bulan setelah lamaran akan membuat kabar burung menerpa. 

Namun, menyegerakan menikah secara sah agama banyak persyaratan yang perlu diurus apalagi aku dan Humaira beda kabupaten. 

Aku harus mengambil keputusan. 

“Humaira, aku akan segera melaut, baru saja aku mendapat kabar bahwa aku diterima di salah satu kapal pesiar. Apakah tak apa kita langsung menikah saat ini, yang penting sah secara agama saja dulu. Nanti, jika aku libur kita langsung daftarkan pernikahan kita di KUA dan resepsi sekaligus.” ucapku pada Humaira. 

“Bila itu yang terbaik, tak apa Mas Hanenda.” jawabnya. Lagi-lagi Humaira begitu memudahkanku dan panggilan Mas Hanenda membuatku semakin merasa dihormati. 

“Ibu, Hanenda diterima berlayar dan harus segera melaut. Hanenda sudah bicara ke Humaira untuk sekarang kita akad secara agama dulu untuk mencegah omongan miring orang.” jelasku pada ibu. 

Ibu sedikit kaget, tapi juga tak bisa dibohongi, ibu bahagia. 

Keluarga Pak Dhe dan Bu Dhe Humaira pun tak keberatan. Akad secara agama pun diadakan. 

Baru berniat saja Allah sudah bukakan kabar gembira yang beruntun, apalagi sudah menikah. Memang janji Allah tak akan pernah diingkari. 

***

Dua bulan sudah aku berlayar dengan kapal pesiar ini. Sungguh melegakan bisa kembali mencium wangi laut. 

Hal yang membuatku tenang, ada istriku, Humaira, yang menjaga ibuku. Sehingga aku tak terlalu berat meninggalkan ibuku yang sedang sakit. 

Namun, dunia memang tempatnya masalah. Ibu memberi kabar adanya omongan miring tentangku yang mengajak nikah secara agama dulu, bukannya langsung ke KUA dan mengadakan resepsi. 

Sungguh, aku kagum dengan Humaira. Ia tak mengeluhkan hal itu, karena ia sudah percaya padaku. Ya, aku tak salah pilih. Humaira memang berbeda. 

Untunglah, karena aku menggantikan mualim 3 sebelumnya, setelah dua bulan ini aku mendapat libur yang cukup untuk mengurus pernikahanku secara resmi. 

Akhirnya, aku pun bisa mengurus pernikahan di KUA, menggelar resepsi di rumah Humaira dan juga rumahku. Hal ini bisa membungkam omongan miring. 

Aku bersyukur mendapatkan Humaira yang percaya padaku dan tak gampang menuduhku dengan tuduhan selingkuh. 

Hal yang lebih aku syukuri, aku punya dua bidadari, ibu dan istriku yang membuatku tenang berlayar dan harapanku untuk memberikan penghidupan yang lebih baik pun semakin bisa kugapai. 

Ternyata memprioritaskan orang tua terlebih dahulu bukannya memperlambat karir, tapi justru mengakselerasinya. Dan banyak kejutan indah yang menanti. 

0 Shares:
1 comment
  1. kak ceritanya mengharu biru banget.. aku lulusan teknik perkapalan, walau bukan berlayar berbulan-bulan tapi aku pernah coba sea trial dan itu rasanya relate aja yang kaka gambarin. ditambah cerita ttg ibu dan malah akselerasi karir.. aku yakin ini bukan cuma kebetulan aku nemu dan baca tulisan kaka… ini emang jawaban atas kegalauan aku ttg mengurus ibuku juga. terima kasih sudah menulis ini dan menjadi penguat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like