Apa rasanya menjadi orang yang dibedakan, dijauhi, didiskriminasi, bahkan menjadi bahan olok-olok hanya karena penyakit yang sebenarnya tak pernah diharapkan hadir?
Tentu rasanya tak adil dan tak nyaman.
Inilah yang sering dirasakan oleh teman-teman OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta). Mereka dijauhi karena penyakitnya yang dianggap menyeramkan dan menular.
Padahal penularan kusta tidaklah semudah penularan COVID-19 ini. Butuh waktu yang lama untuk kusta menular dari satu orang ke orang yang lainnya. Bila kita hanya berjabat tangan, bertatap muka sejenak, duduk di bekas tempat duduk orang yang mengidap kusta itu tak jadi masalah dan masih aman.
Stigma yang datang dari masyarakat tentang kusta membuat penderita kusta merasa terasingkan bahkan menjadi tak nyaman dengan dirinya sendiri. Mereka menjadi tidak percaya diri, takut, dan merasa diri tak berguna.
Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK

Hari Rabu lalu tanggal 24 Agustus 2022, aku mengikuti diskusi yang cukup menarik dari KBR (Kantor Berita Radio) Indonesia yang mendiskusikan topik tentang makna kemerdekaan bagi OYPMK, seperti apa?
Aku tertarik mengikutinya karena selama ini bertanya-tanya bagaimana seorang difabel itu bisa memperoleh kemerdekaanya. Karena dulu aku pernah menjalankan komunitas yang fokusnya untuk menemani para teman-teman difabel.
Diskusi pada hari Rabu lalu menghadirkan dua narasumber yang sangat inspiratif.
Narasumber pertama yang menginspirasiku adalah Dr. Mimi Mariana Lusi. Beliau adalah pendiri Mimi Institute.
Mimi Institute ini hadir dan dilahirkan oleh Dr. Mimi dengan keinginan kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat inklusif yang menerima keberadaan teman-teman difabel sebagai bagian keanekaragaman Indonesia.
Misi Mimi Institute adalah menjadi teman dari komunitas orang-orang tanpa disabilitas melalui pendidikan sehingga mereka bisa punya pemahaman lebih bagaimana berinteraksi dengan penyandang disabilitas dan memperlakukan mereka dengan baik.
Selain itu misi Mimi Institute adalah menjadi teman dari komunitas orang-orang dengan disabilitas agar mereka punya semangat dan rasa percaya diri dalam menjalani kehidupan.
Narasumber kedua yang tak kalah menginspirasi adalah seorang OYPMK dan sekarang justru menjadi aktivis OYPMK. Beliau adalah Marsinah Dhedhe.
Sebelum mengidap kusta, ia adalah seorang difabel. Ia menderita kusta karena bakteri Mycobacterium Leprae.
Ia sempat mengalami diskriminasi ketika mengidap kusta dan mirisnya diskriminasi itu terjadi di lingkungan pendidikan yakni di sekolahnya.
Beruntung, ia mempunyai support system keluarga yang mampu mengembalikan rasa percaya dirinya kembali dan kini bangkit membersamai teman-teman OYPMK sebagai aktivis.
Dari diskusi hangat bersama dua narasumber itu, aku bisa menangkap makna kemerdekaan bagi OYPMK adalah
” Merdeka bagi OYPMK adalah bebas dari stigma masyarakat yang menganggap bahwa pengidap kusta sangat berbahaya dan stigma diri yang merasa tidak lagi berguna.”
Ajakan untuk Memberi Kenyamanan untuk OYPMK
Melalui tulisan ini, aku ingin mengajak teman-teman non OYPMK untuk sama-sama menerima keberadaan OYPMK.
Ingat bahwa kusta tak mudah menular. Beda dengan COVID-19 yang hanya berinteraksi tanpa pelindung bisa membuat kita tertular.
Mari kita bersama-sama merayakan kemerdekaan Indonesia ini bersama OYPMK dengan tidak mengasingkannya, membedakannya, dan mendiskriminasinya.
Para OYPMK tentu adalah makhluk Tuhan yang terpilih untuk mengalami ujian luar biasa, ujian dari penyakitnya dan yang jauh lebih berat adalah ujian yang datang dari sisi psikologis.
Kalau kamu punya teman-teman difabel atau OYPMK perlakukanlah mereka layaknya kamu memperlakukan teman-temanmu seperti biasa.
Sapa mereka, ajak mereka bergabung dalam lingkup pertemananmu, jangan biarkan mereka sendiri. Jangan asingkan mereka. Mereka tak pernah memilih untuk lahir dan membawa beban berat dengan menjadi seorang OYPMK.
Mari rayakan kemerdekaan bersama!