“Saya rindu akan kehadiran Papua Hei di tanah Papua bisa melakukan pendekatan humanis. Papua sampai hari ini belum seutuhnya 100% milik Indonesia, kalau bisa saya bilang masih 50%. Masih banyak saya temui bendera Bintang Kejora berkibar di rumah warga. Banyak warga yang tidak mengindahkan peraturan dari pusat,” ungkap Ratna Catur Hastuti, founder dari Yayasan Papua Hei, untuk visi jangka panjang Yayasan Papua Hei.
Berkali-kali. Setiap pagi sekitar pukul tujuh pagi Waktu Indonesia Timur (WIT) jarang terlihat keramaian anak-anak memakai seragam sekolah berangkat ke sekolah. Justru mereka sudah sibuk membawa tumpukan baju yang akan mereka cuci. Atau jika baju yang mau dicuci habis, mereka akan mengikuti orang tuanya pergi ke ladang.
Prihatin. Satu kata yang bisa menggambarkan perasaan Ratna. Kepalanya penuh dengan pertanyaan “kenapa” setiap kali melihat lalu-lalang anak-anak di perkampungan Wamena yang ada di seberang rumahnya yang ada di Jayapura.
“Kenapa anak-anak usia sekolah di sini banyak yang tidak bersekolah?”
Itulah pertanyaan Ratna tahun 2016. Hampir 9 tahun yang lalu.
Potret Anak-Anak di Tanah Papua

Sumber: instagram papuahei
Wajar. Aneh. Dua kata yang rasanya saling bertolak belakang. Di Papua rasanya wajar melihat anak-anak usia sekolah sudah tidak bersekolah dan justru memilih membantu orang tua bekerja.
Mari kita berbicara angka. Rata-rata anak-anak di Provinsi Papua lama sekolahnya hanya enam tahun saja di tahun 2016. Angka itu berasal dari data Badan Pusat Statistik Papua tahun 2016.
Bila tujuh tahun dihitung dari sekolah taman kanak-kanak (TK) yang berlangsung selama 2 tahun kemudian melanjutkan jenjang sekolah dasar (SD), maka data itu berbicara banyak yang putus sekolah sebelum lulus SD.
Namun, beda ceritanya jika tujuh tahun itu terhitung dari tingkat SD, maka rata-rata mereka sekolah hanya sampai sekolah dasar saja.
Hanya Kota Jayapura saja yang rata-rata lama sekolahnya sampai dengan 12 tahun.
Lantas apa yang mereka lakukan ketika sudah tidak sekolah? Bekerja jawabannya. Ada yang bekerja membantu orang tua di ladang atau pergi melaut. Namun, ada juga yang bekerja menjadi kuli pikul, pekerja kasar, hingga pembantu di rumah.
Fakta mengejutkan datang dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak yang disebutkan oleh media Antara. Dari 4,7 juta buruh anak yang ada di Indonesia pada semester I tahun 2013, ternyata 34,7% berada di Provinsi Papua.
Apa alasan anak-anak di bawah umur sudah mulai merasakan kerasnya kehidupan dengan bekerja? Tentu jawabannya adalah karena kondisi ekonomi.
Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat pendidikan dan kualitasnya membuat banyak orang tua memilih untuk membuat anaknya bekerja di usia yang masih di bawah umur.
Data-data di atas memang meresahkan. Namun, adalah Ratna yang lebih resah dan gelisah karena langsung terjun di tanah Papua, jauh dari kediamannya di sebuah kota yang ada di bagian timur Pulau Jawa, yakni Kota Malang.
Keresahan dan keprihatinan akan anak-anak yang pada usianya sedang asyik bersekolah, tapi keadaan menuntutnya langsung bekerja membuat Ratna terus merapalkan doa.
Doa itu Tuhan wujudkan menjadi sebuah visi. Visi itu sungguh besar dan menggerakkan hati Ratna tanpa henti.
Visi itu adalah ingin berkontribusi positif bagi bangsa melalui generasi di Papua.
Dari Timur Pulau Jawa ke Ujung Timur Indonesia

Sumber: instagram papuahei
Ratna Catur Hastuti yang akrab dipanggil Ratna berasal dari Kota Malang, Jawa Timur. Kota ini menjadi saksi perjalanan hidupnya untuk memenuhi panggilan hati yang Tuhan titipkan menjadi seorang pendidik di sekolah misi yang ada di daerah Kabupaten Malang.
Orang-orang tahu bahwa Ratna sangat cinta dunia pendidikan. Matanya berbinar bahagia setiap kali bisa memberikan pengajaran yang bermanfaat. Hingga akhirnya Ratna mendapatkan kepercayaan untuk menjadi kepala sekolah sekaligus manajer sekolah.
Tidak pernah terbersit dalam benak Ratna bahwa suatu saat hidup membawanya pada tanah ujung timur Indonesia yang orang kenal sebagai Bumi Cendrawasih. Namun, karena mengikuti suami, Bapak Pulung, bertugas ke Bumi Cendrawasih, ia akhirnya ke sana.
Ratna dan Bapak Pulung ini adalah pasangan inspiratif sevisi yang menjadi latar belakang adanya Yayasan Papua Hei. Ratna sebagai founder atau pendiri, sedangkan Bapak Pulung sebagai penasihatnya.
Penolakan dan 3M Musuh Anak Papua
Doa itu kini berbuah visi yang tertancap dalam hati Ratna. Ia harus segera bertindak mewujudkan visi yang merupakan titipan tangan Tuhan padanya.
Langkah Ratna terus bergerak tanpa ketakutan dan keraguan. Ia mendatangi perkampungan Wamena yang ada di depan rumahnya dan beberapa kampung lainnya. Tujuannya hanya satu, yakni untuk menjaring anak-anak yang masih usia sekolah untuk belajar gratis.
Namun, apa yang terjadi?
Banyak penolakan terjadi. Mereka memandang Ratna berbeda dan seperti layaknya ancaman. Berbeda dari segi postur tubuh, warna kulit, dan karena Ratna adalah pendatang. Bahkan tak jarang caci-maki menjadi makanan sehari-hari bagi Ratna ketika akan mengajak mereka untuk belajar.
Pemikiran warga Papua pun beragam. Setelah tinggal di Papua, ia menyadari bahwa secara tidak langsung ada pengelompokan Papua Pegunungan dan orang Papua daerah pantai. Dan kedua kelompok ini punya pemahaman yang bertolak belakang tentang persatuan Indonesia.
Itu menjadi salah satu alasan mengapa Papua belum sepenuhnya 100% hatinya untuk Indonesia.
Sehingga siapa yang terkena imbasnya? Jawabannya adalah anak-anak. Terlebih dengan sudut pandang orang tuanya yang mengatakan bahwa pendidikan itu tidak penting. Pendidikan itu hanya buang-buang waktu.
Beberapa dari mereka berpikir jika waktu anaknya dihabiskan untuk belajar maka mereka kekurangan waktu untuk membantu orang tuanya bekerja. Hal terpenting bagi mereka adalah si anak bisa bantu orang tua cari makan dan kehidupan.
Penolakan itu mencapai benang merahnya bahwa kehadiran Ratna adalah tidak menguntungkan bagi mereka. Ia jadi paham bahwa tantangan terbesarnya adalah mengubah mindset bahwa pendidikan itu tidak penting.
Terlepas dari penolakan para orang tua warga Papua, Ratna juga mengalami masalah yang tak kalah rumitnya karena telah masuk pada ranah karakter. Ratna menyebut masalah itu menjadi musuh utama anak Papua.
Musuh utama anak Papua adalah 3M, yakni malas, mabuk, dan mencuri.
Ironisnya adalah hal itu sering dibiarkan begitu saja. Sehingga untuk memberantas hal itu jalan yang paling ampuh adalah melalui pendidikan.
Namun, pendidikan yang bisa menghadapi musuh utama itu bukanlah pendidikan yang kaku, penuh dengan logika, aturan, dan tuntutan. Ini tak akan cocok dengan karakter orang Papua. Mereka bisa jadi kabur. Pendidikan yang mereka perlukan adalah pendidikan yang penuh kasih.
Berjuang Melalui Pendidikan Nonformal

Sumber: instagram papuahei
Tuhan tidak tidur. Setiap langkah yang rasanya belum menghasilkan apa-apa, justru penolakan yang didapat, pada akhirnya membuahkan hasil dan memberi kabar gembira.
Ada satu anak yang percaya pada visi Ratna dan mau belajar gratis di rumahnya. Tuhan begitu baik, satu anak ini bukan anak biasa. Kecerdasannya luar biasa bahkan Ratna merasa pintarnya anak itu bisa melebihi dia.
Anak itu adalah Yunira Deprince Ramy Indiravan Weyai atau yang dianggap Yunira. Yunira menggenggam semangat belajar yang luar biasa tinggi. Walau baru satu anak saja yang mau belajar gratis, tidak menyurutkan semangat Ratna. Ia tetap mengajari Yunira sesuai dengan visinya.
“Kesetiaan kita pada hal-hal kecil akan membuat Tuhan mempercayakan kita pada hal-hal yang lebih besar,” ujar Ratna menyebutkan prinsip hidupnya.
Yunira tidak hanya diajari materi sekolah, tapi juga diajarkan tentang penanaman karakter yang baik. Apa yang Ratna ajarkan membawa perbedaan yang nyata bagi Yunira, bahkan membuat guru-gurunya penasaran dan memantau perkembangan Yunira.
“Yunira, kok perkembangan kamu dua bulan terakhir ini pesat sekali? Kamu belajar di mana?” tanya gurunya heran.
“Aku belajar di tempatnya Papua Hei,” jawabnya penuh antusias.
Dari satu anak, bertambahlah enam anak SMA 5 Jayapura yang tertarik belajar di Papua Hei. Untuk awalan, tempat belajar Papua Hei adalah di rumah Ratna sendiri.
Ratna tidak ingin visi ini hanya berjalan sebentar saja. Ia langsung berpikir jangka panjang. Kemudian terbesitlah dalam benaknya untuk menjadikan enam anak SMA tadi beserta Yunira menjadi partner berjuang membesarkan Papua Hei. Mereka akan diajak pergi ke kampung terdekat untuk menjaring anak-anak lainnya agar mau belajar gratis di Papua Hei.
Tentunya tanpa mengurangi hak mereka belajar di Papua Hei. Ratna membuat kesepakatan bersama mereka bahwa setiap hari Senin dan Kamis mereka bisa belajar apa yang mereka tidak ketahui seperti Matematika dan Bahasa Inggris. Sebagai gantinya, setiap hari Rabu dan Sabtu mereka akan mengajari adik-adik yang terjaring di Papua Hei.
Dari enam anak kini bertambah 60 anak untuk pertama kalinya di Jayapura. Mereka belajar bersama di rumah Ratna.
Kini pertanyaannya, mengapa Ratna memilih jalur pendidikan nonformal untuk menjadi berkat bagi anak-anak yang belajar di Papua Hei?
Adalah kerinduan hati Ratna agar anak-anak yang belajar di Papua Hei ini memiliki kesetaraan dalam belajar. Ironi yang terjadi dan sering ditemui Ratna dan tim relawan adalah ada anak SMP yang belum kenal huruf alfabet sekalipun.
Melalui pendidikan nonformal Papua Hei, Ratna memperlengkapi anak-anak untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah sesuai dengan tingkat pendidikannya. Harapannya adalah anak bisa belajar setara level pendidikannya. Misalnya anak SMP bisa belajar sesuai levelnya di SMP, bukan lagi kemampuannya masih setara kelas 3 SD.
Makna Patriotisme di Balik Nama Papua Hei
Nama Yayasan Papua Hei dibentuk bukan tanpa makna. Justru ada makna yang mengandung nilai nasionalisme yang kuat di baliknya. Ratna yang saat itu merupakan Ketua Persit Kartika Chandra Kirana (KCK) Cabang XXII Kodim 1709/Yapen Waropen, juga membawa semangat nasionalisme dalam setiap pembelajaran di Papua Hei.
Lantas, apa sejatinya makna Papua Hei? Nama ini Ratna bentuk agar orang mengingatnya. Namun, juga sebagai pengingat dan penyemangat untuk Papua agar bangun dan bangkit.
“Papua Hei, ayo jangan malas, jangan tidur-tidur saja. Bangun, kerjakan bagianmu, bangun Papua.”
Secara tidak langsung nama Papua Hei adalah seruan nasionalisme yang diimplementasikan dalam bentuk pendidikan nonformal.
Program Pendidikan Papua Hei yang Penuh Kasih

Sumber: instagram papuahei
“Kita nggak bisa datang ke anak-anak dengan pendidikan yang kaku, pendekatan kita harus penuh kasih sesuai dengan Alkitab,” terang Ratna.
Bila kehadiran Papua Hei terasa asing, maka menjadikannya akrab bagi para anak-anak Papua adalah misi utama. Caranya adalah dengan kasih. Apa itu kasih? Kasih itu dengan kita benar-benar menerima mereka apa adanya tanpa justifikasi atau rasisme. Kemudian kita memberikan apa yang benar-benar mereka butuhkan. Apa pun yang perlu dibantu, dengan senang hati akan dibantu.
Pesan inti dari pendidikan penuh kasih adalah bahwa kehadiran Papua Hei bukan untuk mengganggu hidup mereka. Namun, memberikan apa yang mereka butuhkan.
Lantas apa saja program pendidikan yang ada di Papua Hei? Singkatnya ada dua program, yakni program jangka pendek dan jangka panjang.
Keunikan dari program pendidikan yang ada di Papua Hei adalah menekankan cinta bangsa dan tanah air.
Berikut ini program jangka pendek dari Yayasan Papua Hei meliputi beberapa aspek berikut ini:
1. Pendidikan Karakter
Untuk menghadapi tiga musuh utama, yakni malas, mabuk, dan mencuri, maka pendidikan karakter sangat diperlukan. Setiap pertemuan selalu ada penerapan pendidikan karakter yang meliputi mengajarkan anak-anak untuk menghargai diri mereka sendiri dan memahami kemurahan Tuhan dalam kehidupan mereka sebagai warga anak Papua.
Anak-anak diajarkan untuk mematuhi aturan dengan membuat kesepakatan di awal kelas, misalnya untuk tidak berkata kasar. Anak-anak diajak doa bersama untuk bersyukur atas karunia dan berkat untuk bisa belajar.
2. Pendidikan Kompetensi
Ratna ingin anak-anak bisa setara sesuai levelnya. Ratna tidak ingin mendapati adanya anak seusia SMP tapi untuk membaca huruf saja belum bisa. Aspek kompetensi ini lebih mengarah pada calistung (membaca, menulis, berhitung).
Pendekatan pengajaran di Papua Hei tidak berdasarkan kelas anak di sekolah formal, melainkan berdasarkan level mereka. Proses leveling dilakukan lewat permainan agar anak-anak tidak tersinggung atau merasa tertekan. Hal ini penting karena banyak anak SMP yang ditemui masih memiliki level kemampuan setara anak SD kelas 2 atau 3, terutama dalam calistung (baca, tulis, dan hitung).
3. Pendidikan Karakter Kebangsaan

Sumber: Instagram Papuahei
Untuk memenangkan Papua tanpa senjata, caranya lewat pendidikan yang penuh kasih. Setiap pembelajaran selalu ada kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan rasa nasionalisme seperti upacara bendera, hormat pada bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mempelajari Pancasila.
Setidaknya Papua Hei ini bisa mengajarkan pemahaman bagaimana Indonesia ini terbentuk hingga akhirnya merdeka dan anak-anak meningkat rasa kecintaannya pada Indonesia.
Program Papua Hei ini pun tak hanya di Jayapura saja, tapi juga beberapa daerah seperti Sentani, Serui, Sarawandori, Wadapi, Menawi, dan Abepura.
4. Penambahan Gizi
Pernahkah kamu melihat video TikTok yang cukup viral ketika ada warga Papua yang menukar beras dengan apa pun yang mereka miliki? Ternyata itu adalah sarana untuk menarik perhatian mereka agar mereka mau sadar. Dalam video itu mereka menukar pada ibu dokter, bisa jadi tujuannya agar orang-orang sadar kalau sakit perginya ke dokter.
Begitu juga dengan yang dilakukan Ratna, makanan yang bergizi dan sehat menjadi magnet penarik perhatian mereka. Dari situ pelan-pelan anak-anak yang belajar di Papua Hei bertambah.
Selain kegiatan rutin tersebut, Papua Hei juga mengadakan kegiatan insidental seperti lomba-lomba dalam rangka Hari Pahlawan atau Hari Anak Nasional. Tujuannya agar anak-anak memiliki daya saing dan sportivitas.
Untuk jangka panjangnya, Papua Hei punya visi yang mulia juga agar anak-anak bisa membangun Papua menjadi lebih maju kembali. Visi itu Ratna namai dengan menyaring “mutiara Papua”. Anak-anak yang terjaring (melalui screening di lapangan terkait motivasi dan kompetensi) dibawa ke Jawa untuk disekolahkan. Setelah lulus, mereka harus dikembalikan lagi ke Papua untuk membangun tanah kelahiran mereka.
Perkembangan Papua Hei Saat Ini
Ketika melihat wajah-wajah anak Papua yang penuh harapan, Ratna semakin mendedikasikan diri untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam bidang pendidikan nonformal.
Dalam menjalankan Papua Hei sejak tahun 2016, Ratna selalu berhadapan pada keajaiban yang tak terduga. Semua biaya operasionalnya berasal dari gaji suaminya, tapi setiap kebutuhan Papua Hei selalu terpenuhi. Ada saja cara Tuhan mendatangkan orang-orang baik.
Ketika Papua Hei butuh relawan, dengan ajaibnya pun relawan itu datang.
Berawal dari komunitas, sejak tahun 2022, Papua Hei telah menjadi yayasan. Sejak awal berdirinya, sudah ada lebih dari 400 anak yang telah dibina oleh Papua Hei. Banyak anak-anak yang terbantu untuk meningkatkan kompetensinya. Dari segi karakter pun mulai terlihat peningkatan yang signifikan dan cara mereka bertindak dan berpikir itu menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Anak-anak pun semakin tumbuh rasa cinta pada tanah air.
Lantas bagaimana orang tua yang dulunya menolak? Kini, karena merasakan hasilnya, banyak perubahan yang dirasakan orang tua. Orang tua memberi izin untuk anak-anaknya boleh berkegiatan belajar di Papua Hei karena mereka melihat perkembangan terkait dengan pendidikannya di sekolah formalnya. Bahkan, orang tua sudah tidak lagi menyuruh anaknya pergi ke laut atau ke ladang saat ada kegiatan Papua Hei karena mereka mau memberikan waktu anaknya untuk belajar.
Papua Hei juga mendapatkan dukungan dari pihak strategis, di mana kegiatan mereka didukung oleh Pangdam 17 Cenderawasih, dan tempat kediaman Ibu Pangdam pun dipakai untuk belajar anak-anak.
Kini Ratna sudah mempunyai banyak relawan yang mampu mengurus Papua Hei bahkan ketika Ratna sudah kembali di Pulau Jawa. Papua Hei masih berjalan lancar dan berkelanjutan sampai seterusnya membawa dampak positif.
Yunira Bukti Keberhasilan Nasionalisme dari Papua Hei

Masih ingat nama Yunira? Anak pertama dari Papua Hei. Ketika ia juga mengajar dan membantu mengembangkan Papua Hei, ia mewakili Papua Hei memenangkan lomba Remaja Inspiratif Papua yang diadakan oleh Cenderawasih Pos. Kemenangan ini didapatkan karena ia bisa menolong anak-anak lain untuk belajar lebih semangat dan memiliki kompetensi lebih baik secara karakter dan akademis.
Sebagai hadiah kemenangannya, ia ditawari untuk mendapat beasiswa dari universitas terbaik, dengan perjanjian setelah lulus ia harus mengabdi untuk New Zealand. Namun, ia ingat perkataan Ratna.
“Saat engkau nanti lulus, Nak, engkau akan membangun Indonesia, bukan membangun negara orang.”
Dengan keberanian luar biasa, ia menolak beasiswa dari New Zealand tersebut. Ia melanjutkan pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang di jurusan Teknik Sipil. Dan sekarang ia kembali ke Papua lagi untuk berkarya sebagai pegawai negeri sipil.
Yunira menjadi bukti keberhasilan nasionalisme dari Papua Hei ini dan bukan tidak mungkin akan tercipta Yunira yang lainnya.
Papua Hei Mendapatkan Berbagai Penghargaan Termasuk Penghargaan SATU Indonesia Awards
“Apa yang dimulai dari hati akan kena di hati pula.”
Itulah prinsip Ratna. Kesetiaan pada visinya membawa Papua Hei mendapatkan penghargaan insan berprestasi dan berdampak dari Astra, yakni penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2023.
Bagi Ratna, setiap penghargaan yang ia terima adalah berkat dan bukti bahwa ia tidak sendirian. Banyak yang mendukung langkahnya.
Ratna belajar bahwa dalam hidup kita harus memiliki visi yang kuat. Karena visi itu yang akan menolong untuk melalui tantangan, hambatan, dan rintangan, sehingga tidak mudah menyerah saat kesulitan datang. Visi ini harus diyakini berasal dari Yang Maha Kuasa, yang akan memberikan “api terus” dan kekuatan untuk bergerak.
Dengan visi yang kuat, ketika sudah merasa mentok, serahkan urusannya kepada Tuhan (Yang Maha Kuasa). Ia mengibaratkan perjalanan ini dengan istilah “Dengkul” (keteguhan hati), yaitu sudah memberikan semua yang dimiliki dan bersedia berkorban, setelah itu menyerahkannya kepada Tuhan.
Senyum dari setiap anak-anak Papua menjadikan Papua Hei terus berkembang dan memberi dampak. Papua Hei terus berjalan sesuai visi Ratna untuk bisa berkontribusi pada bangsa untuk menjadikan Papua 100% hatinya untuk Indonesia melalui pendidikan yang penuh kasih.
SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

